http://hdwallsource.com/
Sore hari kemaren, tepatnya
jam 3 sore, saya kembali berkesempatan menjadi seorang pemelihara binatang
(yang baik). Saya tidak terlahir dari keluarga yang suka memelihara binatang. Karena
(mungkin) menurut keluarga kami, mengurus urusan keluarga saja sudah ribet
apalagi ditambah mengurus binatang yang segala sesuatunya kadang harus
dilayani. Mulai dari makan, mandi, bersih-bersih kandang dan lain sebagainya. Karena
hal itu, dalam hidup ini saya baru berkesempatan menjadi seorang pemelihara
binatang (yang baik) selama dua kali. Pertama, waktu masih usia SD saya
memelihara anak ayam. Tau kan anak ayam warna-warni yang dijual dengan harga
Rp. 1000? Saya pilih yang warnanya alami yaitu putih kekuningan dan berhasil
memeliharanya hingga usia remaja. FYI, tidak sedikit anak ayam warna-warni itu
yang mati setelah beberapa hari pasca serah terima kepemilikan dari penjual ke
pembeli. Tapi, anak ayam milik saya yang belum berkesempatan memiliki nama ini
berhasil survive hingga usia remaja. Hal
itu cukup menjadi bukti bahwa saya adalah seorang pemelihara binatang yang baik
B). Sayangnya, pada suatu hari saat saya sedang boci (bobok ciang) ia menemui
ajalnya karena peristiwa tabrak lari di belakang rumah saat sedang bermain *hiks.
Dan malangnya lagi, saya tidak berkesempatan melihat jasadnya untuk yang terakhir
kalinya. Entah jasadnya dikuburkan dimana setelah peristiwa na’as itu. Yah...
mau bagaimana lagi. Kebersamaan kami harus berakhir seketika itu juga. Kisahnya
sudah berakhir di dunia yang fana ini *hiks. Selamat jalan, anak ayam kecilku
yang malang *hiks.
Pada kesempatan kedua ini,
saya memilih menjadi pemelihara binatang yang biasa disebut Kura-kura. Saya lupa
menanyakan umurnya. Yang pasti tubuhnya masih kecil dan rapuh. Harganya cukup
mahal, yaitu Rp. 20000. Padahal yang ukuran lebih besar (mungkin tiga atau
empat kali lipat ukuran bayi kura-kura ini) hanya seharga Rp. 35000. Untuk menguji
kemampuan saya memelihara binatang, saya memutuskan untuk membeli yang paling
kecil. Alhamdulillah tidak seperti binatang peliharaan pertama saya, si
kura-kura mungil ini berkesempatan memiliki nama yang lucu. Karena pada saat
masih kecil belum bisa ditentukan jenis kelaminnya (kata Ibu yang jual), maka
saya beri nama dia Kuku. Bisa jadi namanya akan berubah jika ternyata dia
seorang lelaki. Di hari pertama ini dia sangat aktif sekali. Maunya jalan
terus. Padahal habitatnya saat ini hanya berukuran sekitar 8x15 cm. Kasian sih
sebenernya. Tapi, mau bagaimana lagi. Sabar ya Kuku, kapan-kapan tak beliin
rumah yang gede deh. Tapi, gak janji ya wkwkw *cium Kuku*.
Melihat Kuku yang
sepertinya kesepian, ingin terus berlari mencari teman atau tempat yang ingin
dia tinggali, saya jadi agak galau. Sempat berpikir untuk melepasnya saja. Tapi,
tiba-tiba saya teringat sebuah kisah yang pernah disampaikan oleh murabbi saya
beberapa tahun yang lalu. Ini kisah tentang seorang lelaki pemelihara ikan. Beliau
memiliki akuarium yang panjang dan cukup lebar. Sehingga, ikan-ikan yang beliau
pelihara bisa leluasa berenang. Tiba-tiba beliau kedatangan seorang tamu yang
kemudian bertanya, “Kenapa tidak dilepaskan saja ikannya, Pak? Kan kasian
mereka. Akan lebih baik jika mereka tinggal di habitat aslinya.” Sang pemelihara
ikan kemudian menjawab, “Jangan sotoy kamu. Dengan hidup di akuarium ini, saya
menjamin mereka mendapatkan makanan yang sehat dan cukup. Airnya selalu saya
ganti dengan rutin, sehingga mereka bisa nyaman di akuarium ini. Saya menjamin seluruh
kebutuhannya terpenuhi. Kalau mereka hidup di sungai misalnya, bisa jadi mereka
akan mati karena kepalanya terbentur batu, atau tidak mendapatkan makanan yang
cukup, atau lebih mengenaskan lagi nyawa mereka berakhir di mulut binatang
lain. Sedangkan disini, hidup mereka lebih terjamin.” Dan kisah itupun
berakhir.
Kemudian murabbi saya menganalogikankan
kisah ikan itu dengan kehidupan manusia, dengan Allah sebagai pemeliharanya. Mungkin
kita sempat berpikir seperti tamu pemelihara ikan yang menganggap kehidupan
yang kita inginkan lebih baik daripada yang terjadi saat ini. Akan lebih baik
jika kita terlahir sebagai orang kaya yang tidak perlu bekerja keras untuk
membeli barang ini dan itu. Atau mungkin terlahir sebagai orang cerdas yang
tidak perlu belajar lama untuk memahami materi pelajaran. Atau terlahir di
negara yang lebih makmur, sehingga kehidupan keluarga lebih sejahtera. Tapi,
Allah sebagai pemelihara seluruh alam semesta beserta isinya tau kehidupan yang
paling baik untuk setiap makhluknya. Setiap detail kehidupan mulai dari keluarga,
tempat tinggal, bentuk dan ukuran tubuh, kemampuan yang dimiliki, hingga hal
yang sangat kecil seperti sel dan kawan-kawannya. Mungkin, jika kita terlahir
sebagai orang yang lebih cantik atau tampan, kita tidak akan memiliki
teman-teman yang tulus seperti sekarang. Jika terlahir sebagai orang kaya, kita
tidak akan pernah menikmati rasanya mendapatkan uang yang meski tidak besar
jumlahnya tapi diperoleh dengan kerja keras dan halal. Atau yang lebih parah,
jika kita dilahirkan sebagai ‘orang lain’, kita tidak akan memiliki iman yang
lebih baik dari yang kita miliki saat ini. Allah Maha Tau segalanya.
Jika kita diberi kesempatan
untuk menentukan semuanya, mulai dari tempat tinggal, keluarga, kecerdasan,
kemampuan yang dimiliki, kekayaan dan lain sebagainya, mungkin kehidupan belum
juga dimulai hingga saat ini. Manusia dengan sifatnya yang tidak akan pernah
puas dengan segala yang dimiliki akan berpikir beribu-ribu kali untuk merencanakan
kehidupan yang akan ia jalani. Ia ingin kaya, cerdas, rupawan, multitalenta dan
hal-hal lain yang sempurna menurutnya. Dan jika tidak dibatasi waktunya, mereka
tidak akan pernah selesai meminta ini dan itu. Mereka akan terus menyebutkan
yang mereka ingini, kemudian meralatnya, menyebutkan hal lain yang menurutnya
lebih baik, dan akan terus seperti itu. Bukankah dengan kewenangan yang hanya
dimiliki oleh Allah untuk menentukan segala sesuatunya memudahkan hidup kita? Bukankah
Allah tau segala hal yang lebih baik? Bukankah kehidupan yang sempurna di dunia
yang satu tidak menjamin kehidupan di dunia lain yang juga sempurna?
NB: Tidak bermaksud
menggurui atau menjadi orang yang sok bijak. Terkadang tulisan seperti ini
dimaksudkan untuk mengingatkan diri-sendiri. Sekaligus mengingatkan orang lain
agar berpikir dan sama-sama menjadi pribadi yang lebih baik setelahnya. Rasa ‘tak
menyenangkan’ yang hadir mungkin disebabkan oleh kekhilafan si penulis. Semoga
rasa apapun yang muncul saat atau pasca membaca tulisan ini, tidak menyebabkan
pembaca gagal mengambil pelajaran dari
tulisan ini. Semoga J
Surabaya, 05.02.2015 | Dyah
Oktavia